Istinja , wajib atau kah sunah




Hukum Istinja , Wajibkah atau Sunnah?
Merupakan Fitrah manusia bahwasanya buang hajat merupakan hal yang urgent dalam kehidupan sehari hari ,hal tersebut merupakan salah satu dari banyaknya nikmat Allah swt , karena tidak bisa kita dibayangkan jika Allah swt tidak menyediakan tempat keluarnya kotoran dari dalam tubuh manusia . Maka Alhamdulillah atas segala nikmatnya kepada Manusia .
Satu hal yang perlu kita catat sebelum masuk ke pembahasan kali ini bahwa Agama Islam merupakan agama yang sempurna , salah satu contoh kesempurnaanya ialah bahwa dalam agama Islam dijelaskan berbagai hal hingga tata cara membersihkan diri setelah buang hajat .
A. Teknik Bersuci
Adapun teknik untuk bersuci dari buang hajat di dalam syariat Islam tidak terbatas hanya pada air saja. Selain air, juga dikenal benda-benda lain yang sah untuk digunakan untuk bersuci. Di dalam literatur fiqih, dikenal 2 teknik bersuci dari buang hajat, yaitu isitnja' dan istijmar.
1. Istinja` Secara bahasa, istinja` bermakna menghilangkan kotoran. Sedangkan secara istilah bermakna menghilangkan najis dengan air. Atau menguranginya dengan semacam batu. Atau bisa dikatakan sebagai penggunaan air atau batu. Atau menghilangkan najis yang keluar dari qubul (kemaluan) dan dubur (pantat).
2. Istijmar Istijmar adalah menghilangkan sisa buang air dengan menggunakan batu atau benda-benda yang semisalnya.
Adapun dalam pembahasan kali ini kita akan membahas perkataan Para Ulama terkait hukum Istinja. Karena para Ulama sendiri berbeda pendapat terkait hukum Istinja itu sendiri , Berikut penjelasannya :
B. Mazhab Hanafi
Imam Al Kasaani (587 H) dari kalangan Hanafiah menyebutkan dalam Kitabnya Bada’i As-Shana’i Fi Tartib As-Syarai’ bahwasanya :
فَالِاسْتِنْجَاءُ سُنَّةٌ عِنْدَنَا، وَعِنْدَ الشَّافِعِيِّ فَرْضٌ، حَتَّى لَوْ تَرَكَ الِاسْتِنْجَاءَ أَصْلًا جَازَتْ صَلَاتُهُ عِنْدَنَا، وَلَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ، وَعِنْدَهُ لَا يَجُوزُ .
Adapun masalah Istinja’ maka hal itu merupakan Sunah dalam mazhab kami , dan merupakan Fardhu dalam mazhab Syafi’i , bahkan jika seseorang meninggalkan/melupakan Istinja’ maka ia tetap boleh melaksanakan shalat , tetapi hal tersebut makruh , adapun dalam mazhab Syafi’i maka hal itu tidak boleh .
Imam Ibnu Al-Humam (861 H) dari kalangan Hanafiah menyebutkan dalam Kitabnya Fath Al-Qadir terkait Istinja bahwasanya :
(فَصْلٌ فِي الِاسْتِنْجَاءِ هُوَ إزَالَةُ مَا عَلَى السَّبِيلِ مِنْ النَّجَاسَةِ، فَإِنْ كَانَ لِلْمُزَالِ بِهِ حُرْمَةٌ أَوْ قِيمَةٌ كُرِهَ كَقِرْطَاسٍ وَخِرْقَةٍ وَقُطْنَةٍ وَخَلٍّ قِيلَ يُورِثُ ذَلِكَ الْفَقْرَ (قَوْلُهُ وَاظَبَ عَلَيْهِ) وَلِذَا كَانَ كَمَا ذَكَرَ فِي الْأَصْلِ سُنَّةً مُؤَكَّدَةً وَلَوْ تَرَكَهُ صَحَّتْ صَلَاتُهُ.
Bab Istinja : Ialah metode/tata cara membersihkan diri dari kotoran/najis , jika yang digunakan ialah hal yang berharga seperti kertas , kain dan sejenisnya maka hal tersebut ialah makruh , dan merupakan pendapat asal bahwa istinja merupakan sunnah Muakkadah dan apabila ditinggalkan maka shalatnya tetap sah .
C. Mazhab Maliki
Ibnu Abdil Barr (463 H) dari kalangan Malikiyah menyebutkan dalam kitabnya Al-Kaafi Fi Fiqhi Ahli Al-Madinah bahwasanya :
إزالة النجاسة من الأبدان والثياب سنة مؤكدة عند مالك وأصحابه ووعند غيرهم فرض وهو قول أبى الفرج ولا يجوز تطهيرها بغير الماء إلا من مخرج الغائط والبول خاصة فإن المخرجين مخصوصان بالأحجار، والاستنجاء بالأحجار رخصة والماء أطهر وأطيب وأحب
Menghilangkan Najasah dari badan dan pakaian merupaka Sunnah Muakkadah dalam mazhab Imam Malik danpegikutnya , adapun yang lain berpendapat bahwa hal tersebut merupakan fardhu , sebagaimana dikatakanb oleh Abi Al-faraj . Dan tidak boleh membersihkannya selain dengan air kecuali dua tempat keluarnya kotoran manusia , karena dua tempat tersebut khusus dan boleh dengan menggunakan batu , dan Istinja dengan batu merupakan Rukhshoh (Keringanan) tapi tetap menggunakan air merupakan hal yang lebih suci dan baik .
Al-Mazari (536 H) dari kalangan Malikiyah menyebutkan dalam kitabnya Syarh At-Talqin bahwasanya :
الاستنجاء على قسمين: استنجاء بالماء، واستنجاء بالحجر وما سد مسدهما. فأما الاستنجاء بالماء فجائز عند الجمهور. وحكي عن بعض السلف كراهته.

وأما الاستنجاء بالأحجار فالدليل على صحته قوله عليه السلام: ولا يكفي أحدكم أن يستنجي بدون ثلاثة أحجار ) رواه مسلم وأبو داود والترمذي وابن ماجة وأحمد وغيرهم
Istinja itu terbagi dua : Istinja dengan air dan Istinja dengan batu atau hal yang bisa menjadi penggantinya , Adapun Istinja dengan air maka hal tersebut hukumnya boleh menurut Jumhur Ulama , meskipun ada beberapa ulama salaf yang menyebutkan bahwa hal tersebut makruh . Adapun dalil tentang keabsahan Istinja dengan batu ialah hadits yang diriwayatkan oleh Imam muslim bahwasanya : Tidaklah cukup seseorang diantara kalian beristinja kecuali dengan tiga batu (Hr Muslim , Abu Daud , Tirmdzi , Ibnu Majah , Ahmad dan yang lain) .
D. Mazhab Asy-Syafi’iyah
Imam An-Nawawi (676 H) dari kalangan Syafi’iyah menyebutkan dalam kitabnya Raudhoh At-Tholibin wa Umdah Al-Muftiin bahwasanya :
الِاسْتِنْجَاءُ وَاجِبٌ. وَلِقَضَاءِ الْحَاجَةِ آدَابٌ.
Istinja itu merupakan hal yang Wajib , adapun dalam membuang hajat maka ada beberapa adab .
Ibnu Hajar Al-Haytami (974 H) dari kalangan Syafi’iyah menuliskan dalam kitabnya Al-Minhaj Al-qowim bahwasanya :
"يجب" لا على الفور بل عند خشية تنجس غير محله وعند إرادة نحو الصلاة "
Diwajibkan istinja namun hal tersebut tidak wajib secara langsung (seketika) tetapi wajib ketika ditakutkan najis tersebut tersebar , dan juga ketika ingin melaksanakan shalat .
Maka dari kedua Ulama diatas dapat kita simpulkan bahwa hukum Istinja dalam mazhab Syafi’i adalah Wajib .
E. Mazhab Hanbali
Ibnu Qudamah (620 H) dari kalangan Hanabilah menyebutkan dalam kitabnya Al-Mughni bahwasanya :
مسألة: قال: والاستنجاء لما خرج من السبيلين هذا فيه إضمار، وتقديره: والاستنجاء واجب .
Permasalahan Istinja : dalam pembahasan Istinja (Mensucikan) diri dari kedua tempat keluarnya kotoran di sini terdapat hal yang tersirat , dan hasilnya : Istinja itu wajib . 
Al-Mardawi (885 H) dari kalangan Hanabilah menyebutkan dalam kitabnya Al-Inshaf Fi Ma’rifati Ar-Rajih Minal Khilaf bahwasanya : 
قَوْلُهُ (وَيَجِبُ الِاسْتِنْجَاءُ مِنْ كُلِّ خَارِجٍ إلَّا الرِّيحَ) . شَمِلَ كَلَامُهُ الْمُلَوَّثَ وَغَيْرَهُ، وَالطَّاهِرَ وَالنَّجِسَ. أَمَّا النَّجِسُ الْمُلَوَّثُ: فَلَا نِزَاعَ فِي وُجُوبِ الِاسْتِنْجَاءِ مِنْهُ. وَأَمَّا النَّجِسُ غَيْرُ الْمُلَوَّثِ وَالطَّاهِرِ: فَالصَّحِيحُ مِنْ الْمَذْهَبِ، وَعَلَيْهِ جَمَاهِيرُ الْأَصْحَابِ: وُجُوبُ الِاسْتِنْجَاءِ مِنْهُ.
Diwajibkan Istinja dari segala hal yang keluar kecuali kentut . Kalimat ini bersifat umum baik yang kotor , suci ataupun yang najis , adapun jika yang keluar adalah yang najis lagi kotor maka tak khilaf akan wajibnya Istinja (membersihkan diri) dari hal tersebut . Dan jika yang keluar bukan hal yang kotor dan suci maka pendapat yang shahih dalam mazhab hanafi ialah : Wajibnya Istinja dari itu juga .
F. Mazhab Adz-Dzhahiri

Ibnu Hazm Al-Andalusi (456 H) yang merupakan pembaharu mazhab tersebut menyebutkan dalam kitabnya Al-Muhalla Bi Al-Atsar bahwsanya :
مَسْأَلَةٌ: وَتَطْهِيرُ الْقُبُلِ وَالدُّبُرِ مِنْ الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ وَالدَّمِ مِنْ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ لَا يَكُونُ إلَّا بِالْمَاءِ حَتَّى يَزُولَ الْأَثَرُ أَوْ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ مُتَغَايِرَةٍ
Membersihkan qubul dan dubur bagi laki laki dan wanita dari yang keluar dari kedua tempat harus dengan menggunaka air hingga hilang bekas nya atau denga tiga batu berbeda .
Dalam penjelasan Ibnu Hazm diatas beliau antara wajib atau sunah , tetapi beliau hanya menyebutkan bahwa membersihkan kedua tempat tersebut dengan menggunakan air atau tiga batu. Seperti itulah penjelasan beberapa Ulama terkait hukum Istinja apakah wajib atau sunnah.wa'allahua'lambisowab

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar