Al kisah Said bin Zaid
Said bin Zaid adalah pemuda yang berbeda dengan pemuda Makkah yang lain. Pada masa jahiliyah, ia tidak pernah mengikuti perbuatan-perbuatan yang umumnya dilakukan oleh kaum Quraisy, seperti menyembah berhala, bermain judi, minum minuman keras, main wanita dan perbuatan nista lainnya. Sifat baiknya diwarisi dari ayahnya, Zaid bin Amru bin Naufal.
Ayah Said, Zaid bin Amru tak ragu bersikap beda dari kebiasaan kaum Quraisy. Orang jahiliyah mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena menganggapnya sebagai aib. Kebalikannya, Zaid menawarkan diri untuk mengasuh anak perempuan orang lain. Said juga tak mau memakan sesaji dan daging yang disembelih sebagai persembahan untuk berhala-berhala. Padahal, saat itu ia belum menjadi pengikut Nabi Muhammad.
Sejak lama Zaid bin Amru telah mengikuti agama Ibrahim. Ia tidak mau memeluk agama Yahudi dan Nashrani yang menurutnya telah menyimpang dari agama Nabi Ibrahim. Namun, ia merasa asing di tengah kaum musyrik Makkah. Suatu ketika saat melihat orang Quraisy sedang melakukan ritual-ritual penyembahan berhala, ia berkata, “Wahai kaum Quraisy, apakah tidak ada di antara kalian yang menganut agama Ibrahim selain aku?”
Said kerap merindukan kedatangan nabi pamungkas penutup risalah para nabi. ia pernah berkata kepada sahabat dan kerabatnya, “Aku sedang menunggu seorang Nabi dari keturunan Ismail, hanya saja, rasanya aku tidak akan sempat melihatnya, tetapi saya beriman kepadanya dan meyakini kebenarannya.”
Pada akhirnya, Allah memberinya hidayah Islam dengan mempertemukan kedua insan agung tersebut. Zaid berkawan dengan Nabi Muhammad sebelum diangkat sebagai rasul. Zaid kagum dengan kepribadian nabi yang sangat berbeda dengan orang Makkah pada umumnya. Bersama Muhammad, Zaid merasa nyaman dan mendapat kawan. Namun, Zaid meninggal saat nabi berusia 35 tahun. Kendati demikian, Zaid telah menanamkan benih-benih agama tauhid kepada putra-putranya, salah satunya yaitu Said bin Zaid.
Saat Nabi Muhammad mendeklarasikan agama tauhid, Said langsung menyambutnya. Diajaknya pula sang istri, Fathimah binti Khattab memeluk Islam. Fathimah sendiri adalah saudari Umar bin Khattab.
Keyakinan keluarga Said tentang Islam tak tergoyahkan. Ia tahu risiko dari pilihannya tersebut yang berupa intimadasi dari kaumnya. Said juga tak takut, meski iparnya, Umar bin Khaththab menentang kehadiran Islam di Makkah. Namun, keluarga Said tetap merahasiakan keimanan mereka. Suasana Makkah saat itu memang tidak kondusif.
Umar menganggap ajaran yang dibawa Rasulullah SAW hanya akan merusak tatanan yang sudah mapan di Makkah. Baginya, nabi akan memecah belah kesatuan bangsa Arab. Karena itulah, Umar membenci Islam setengah mati. Hingga suatu ketika, Umar mantap ingin menghabisi Rasulullah. Menurutnya itulah solusi tepat menghentikan dakwah Islam.
Di tengah jalan, beliau dihadang oleh Abdullah an-Nahham al-‘Adawi
“Hendak kemana engkau, Umar?”
“Membunuh Muhammad”, jawabnya sambil menghunus pedang.
“Jika membunuh Muhammad, apakah engkau siap menghadapi balas dendam dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah?”
“Jangan-jangan engkau sudah murtad dan meninggalkan agamamu?” tanya Umar menyelidik.
“Akan aku tunjukkan berita yang lebih mengagetkan. Sungguh, saudari kandung berserta suaminya telah murtad dan memeluk Agama Muhammad”, kata Abdullah.
Umar bak tersambar geledek, diurungkannya niat memburu Nabi. Ia pacu tunggangannya ke rumah Fathimah. Saat itu di dalam rumah tersebut terdapat Khabbab bin Art yang sedang mengajarkan al-Quran kepada Fatimah dan Said bin Zaid. Mereka memergoki kedatangan Umar. Khabab segera bersembunyi di sudut rumah. Sementara Fatimah, menutupi lembaran al-Quran.
Sebelum masuk rumah, rupanya Umar telah mendengar bacaan Khabbab, lalu dia bertanya :
“Suara apakah yang tadi saya dengar dari kalian?”,
“Tidak ada suara apa-apa kecuali obrolan kami berdua saja”, jawab mereka.
“Pasti kalian telah murtad”, kata Umar meluapkan murka.
“Wahai Umar, bagaimana pendapatmu jika kebenaran bukan berada pada agamamu ?”, jawab ipar Umar.
Umar marah, ditendangnya Said hingga jatuh dan berdarah. Fatimah melindungi suaminya. Umar langsung menampat pipi Fatimah dengan keras. Fatimah tidak gentar, dengan tegas ia katakan.
“Umar, kebenaran bukan pada agamamu. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah.”
Umar melihat darah mengalir dari muka Fatimah. Muncul penyesalan dalam hati, akibat tak mampu mengontrol emosinya. Lalu Umar meminta lembaran al-Quran tersebut. Namun Fatimah menolaknya seraya mengatakan bahwa Umar najis, dan al-Quran tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang telah bersuci. Fatimah memerintahkan Umar untuk mandi jika ingin menyentuh mushaf tersebut dan Umar pun menurutinya.
Setelah mandi, Umar membaca lembaran tersebut. “Betapa indah dan mulianya ucapan ini. Tunjukkan padaku di mana Muhammad”. Kata Umar.
Keteguhan keluarga Said dalam mempertahankan keyakinan meluluhkan Umar. Ia seakan tak percaya, adiknya yang lemah berani menentangnya. Tetapi justru dari keheranan dan ketidak-percayaannya ini, amarahnya menjadi reda, dan kemudian menjadi titik balik ia memperoleh hidayah dan akhirnya memeluk Islam.
Sejak lama Zaid bin Amru telah mengikuti agama Ibrahim. Ia tidak mau memeluk agama Yahudi dan Nashrani yang menurutnya telah menyimpang dari agama Nabi Ibrahim. Namun, ia merasa asing di tengah kaum musyrik Makkah. Suatu ketika saat melihat orang Quraisy sedang melakukan ritual-ritual penyembahan berhala, ia berkata, “Wahai kaum Quraisy, apakah tidak ada di antara kalian yang menganut agama Ibrahim selain aku?”
Said kerap merindukan kedatangan nabi pamungkas penutup risalah para nabi. ia pernah berkata kepada sahabat dan kerabatnya, “Aku sedang menunggu seorang Nabi dari keturunan Ismail, hanya saja, rasanya aku tidak akan sempat melihatnya, tetapi saya beriman kepadanya dan meyakini kebenarannya.”
Pada akhirnya, Allah memberinya hidayah Islam dengan mempertemukan kedua insan agung tersebut. Zaid berkawan dengan Nabi Muhammad sebelum diangkat sebagai rasul. Zaid kagum dengan kepribadian nabi yang sangat berbeda dengan orang Makkah pada umumnya. Bersama Muhammad, Zaid merasa nyaman dan mendapat kawan. Namun, Zaid meninggal saat nabi berusia 35 tahun. Kendati demikian, Zaid telah menanamkan benih-benih agama tauhid kepada putra-putranya, salah satunya yaitu Said bin Zaid.
Saat Nabi Muhammad mendeklarasikan agama tauhid, Said langsung menyambutnya. Diajaknya pula sang istri, Fathimah binti Khattab memeluk Islam. Fathimah sendiri adalah saudari Umar bin Khattab.
Keyakinan keluarga Said tentang Islam tak tergoyahkan. Ia tahu risiko dari pilihannya tersebut yang berupa intimadasi dari kaumnya. Said juga tak takut, meski iparnya, Umar bin Khaththab menentang kehadiran Islam di Makkah. Namun, keluarga Said tetap merahasiakan keimanan mereka. Suasana Makkah saat itu memang tidak kondusif.
Umar menganggap ajaran yang dibawa Rasulullah SAW hanya akan merusak tatanan yang sudah mapan di Makkah. Baginya, nabi akan memecah belah kesatuan bangsa Arab. Karena itulah, Umar membenci Islam setengah mati. Hingga suatu ketika, Umar mantap ingin menghabisi Rasulullah. Menurutnya itulah solusi tepat menghentikan dakwah Islam.
Di tengah jalan, beliau dihadang oleh Abdullah an-Nahham al-‘Adawi
“Hendak kemana engkau, Umar?”
“Membunuh Muhammad”, jawabnya sambil menghunus pedang.
“Jika membunuh Muhammad, apakah engkau siap menghadapi balas dendam dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah?”
“Jangan-jangan engkau sudah murtad dan meninggalkan agamamu?” tanya Umar menyelidik.
“Akan aku tunjukkan berita yang lebih mengagetkan. Sungguh, saudari kandung berserta suaminya telah murtad dan memeluk Agama Muhammad”, kata Abdullah.
Umar bak tersambar geledek, diurungkannya niat memburu Nabi. Ia pacu tunggangannya ke rumah Fathimah. Saat itu di dalam rumah tersebut terdapat Khabbab bin Art yang sedang mengajarkan al-Quran kepada Fatimah dan Said bin Zaid. Mereka memergoki kedatangan Umar. Khabab segera bersembunyi di sudut rumah. Sementara Fatimah, menutupi lembaran al-Quran.
Sebelum masuk rumah, rupanya Umar telah mendengar bacaan Khabbab, lalu dia bertanya :
“Suara apakah yang tadi saya dengar dari kalian?”,
“Tidak ada suara apa-apa kecuali obrolan kami berdua saja”, jawab mereka.
“Pasti kalian telah murtad”, kata Umar meluapkan murka.
“Wahai Umar, bagaimana pendapatmu jika kebenaran bukan berada pada agamamu ?”, jawab ipar Umar.
Umar marah, ditendangnya Said hingga jatuh dan berdarah. Fatimah melindungi suaminya. Umar langsung menampat pipi Fatimah dengan keras. Fatimah tidak gentar, dengan tegas ia katakan.
“Umar, kebenaran bukan pada agamamu. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah.”
Umar melihat darah mengalir dari muka Fatimah. Muncul penyesalan dalam hati, akibat tak mampu mengontrol emosinya. Lalu Umar meminta lembaran al-Quran tersebut. Namun Fatimah menolaknya seraya mengatakan bahwa Umar najis, dan al-Quran tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang telah bersuci. Fatimah memerintahkan Umar untuk mandi jika ingin menyentuh mushaf tersebut dan Umar pun menurutinya.
Setelah mandi, Umar membaca lembaran tersebut. “Betapa indah dan mulianya ucapan ini. Tunjukkan padaku di mana Muhammad”. Kata Umar.
Keteguhan keluarga Said dalam mempertahankan keyakinan meluluhkan Umar. Ia seakan tak percaya, adiknya yang lemah berani menentangnya. Tetapi justru dari keheranan dan ketidak-percayaannya ini, amarahnya menjadi reda, dan kemudian menjadi titik balik ia memperoleh hidayah dan akhirnya memeluk Islam.
0 komentar:
Posting Komentar