Sejarah Perang Paderi
Akhir keberpihakan golongan penghulu terhadap Belanda
Sementara
kaum Padri bergerak menguasai Tapanuli Selatan dan daerah pesisir barat
Minangkabau, Belanda muncul kembali di Padang. Tuanku Pamansiangan
salah seorang pemimpin di Luhak Agam mengusulkan kepada Imam Bonjol
untuk menarik pasukan Padri dari Tapanuli Selatan dan menggempur
kedudukan Belanda di Padang yang belum begitu kuat. Karena baru saja
serah terima kekuasaan dari Inggeris (1819). Tetapi perwira-perwira
Padri seperti Tuanku Raos, Tuanku Tambusi dan Tuanku Lelo dari Tapanuli
Selatan ber¬kebaratan untuk melaksakan usul itu, oleh karena itu Imam
Bonjol hanya dapat memantau kegiatan dan gerakan pasukan Belanda melalui
kurir-kurir yang sengaja dikirim ke sana.
Belanda
yang tahu bahwa daerah pesisir seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis
adalah daerah strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka Belanda
telah membagi pasukan untuk merebut daerah-daerah ter¬sebut. Dalam
menghadapi serangan Belanda ini, maka terpaksa kaum Padri yang berada di
Tapanuli Selatan di bawah pimpinan Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi
dikirim untuk menghadapinya. Pertempuran sengit terjadi dan pada tahun
1821 Tuanku Rao gugur sebagai syuhada di Air Bangis. Perlawanan pasukan
Padri melawan pasukan Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku Tambusi.
Kemenangan
yang diperoleh Belanda dalam medan pertempuran menghadapi pasukan
Padri, menumbuhkan semangat bagi golongan penghulu, yang selama ini
kekuasaannya telah lepas. Dengan secara diam-diam para penghulu
Minangkabau mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda untuk
memerangi kaum Padri. Para penghulu yang mengatasnamakan yang Dipertuan
Minangkabau langsung mengikat perjanjian kerjasama dengan Residen
Belanda di Padang yang bernama Du Puy.
Dengan
terjalinnya kerjasama antara para penghulu dengan Belanda, maka berarti
kaum Padri akan menghadapi bahaya besar. Dalam kondisi demikian,
tiba-tiba Tuanku Nan Renceh, Yang menjadi pimpinan tertinggi kaum Padri
yang gemilang pada tahun 1820 wafat. Kekosongan ini secara demokrasi
diisi oleh Iman Bonjol. Atas persetujuan para perwira pasukan Padri,
Imam Bonjol langsung memimpin gerakan Padri untuk menghadapi pasukan
gabungan Belanda-Penghulu.
Pada
tahun 1821 pertahanan Belanda di Semawang diserang oleh pasukan Padri;
sedangkan pasukan Belanda yang mencoba memasuki Lintau dicerai-beraikan.
Untuk menguasai medan, pasukan Belanda membuat benteng di Batusangkar
dengan nama ‘Benteng atau Fort van der Capellen’. Berulang kali pasukan
Belanda-Penghulu menyerang kedudukan pasukan Padri di Lintau, tetapi
selalu mendapati kegagalan, bahkan pernah pasukan Belanda-Penghulu
terjebak.
Perlawanan
yang sengit dari pasukan Padri, mendorong Belanda untuk memperkuat
pasukannya di Padang. Pada akhir tahun 1821 Belanda mengirimkan
pasukannya dari Batavia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff. Dengan
bantuan militer yang lengkap persenjataannya, pasukan Belanda melakukan
ofensif terhadap kedudukan pasukan Padri.
Operasi
militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda-Penghulu ditujukan ke
daerah yang dianggap strategis yaitu Luhak Tanah Datar. Dengan
menaklukkan Luhak Tanah Datar, yang berpusat di Pagaruyung, menurut
dugaan Belanda perlawanan pasukan Padri akan mudah ditumpas. Oleh karena
itu pada tahun 1822 pasukan Belanda-Penghulu di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Raaff menyerang Pagaruyung. Pertempuran sengit terjadi, korban
dari kedua pihak banyak yang berjatuhan. Karena kekuatan yang tidak
seimbang, akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri ke daerah Lintau
setelah meninggalkan korban di pihak Belanda yang cakup besar.
Usaha
pengejaran dilakukan terus oleh pasukan Belanda dengan jalan
mendatangkan bantuan dari Batusangkar. Tetapi pasukan Belanda
sesampainya di Lintau seluruhnya dapat dipukul mundur dan terpaksa
kembali ke pangkalan mereka di Batusangkar.
Setelah
Belanda memperkuat diri, ofensif dilakukan kembali dengan jalan
memblokade daerah Lintau, sehingga terputus hubungannya dengan Luhak
Lima Puluh Kota dan Luhak Agam. Walaupun nagari Tanjung Alam dapat
direbut oleh pasukan Belanda, tetapi usaha¬nya untuk merebut Lintau
dapat dipatahkan, karena pasukan Padri di Luhak Agam di bawah pimpinan
Tuanku Pamansiangan memberikan perlawanan yang sengit. Kemudian Letnan
Kolonel Raaff menyusun kembali pasukannya untuk merebut Luhak Agam, Koto
Lawas, Pandai Sikat dan Gunung; dan kali ini berhasil, setelah melalui
pertempuran dahsyat, di mana Tuanku Pamansiangan dapat tertangkap, yang
kemudian dihukum gantung oleh Belanda.
Pada
akhir tahun 1822 pasukan Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol melakukan
serangan balasan terhadap pasukan Belanda di berbagai daerah yang pernah
didudukinya. Pertama-tama Air Bangis mendapat serang¬an pasukan Padri.
Operasi ke Air Bangis ini langsung dipimpin oleh Imam Bonjol dibantu
oleh perwira-perwira pasukan Padri dari Tapanuli Selatan. Hanya dengan
pertahanan yang luar biasa dan dibantu dengan tembakan-tembakan meriam
laut, Air Bangis dapat selamat dari serangan pasukan Padri. Kegagalan
ini, pasukan Padri mencoba merebut kembali daerah Luhak Agam. Serangan
pasukan Padri ke daerah ini berhasil merebut kembali daerah Sungai Puar,
Gunung, Sigandang dan beberapa daerah lainnya.
Awal
tahun 1823 Kolonel Raaff mendapatkan tambahan pasukan militer dari
Batavia. Dengan kekuatan baru, pasukan Belanda mengadakan operasi
militer besar-besaran untuk merebut seluruh Luhak Tanah Datar. Tetapi di
bukit Marapalam terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda
dengan pasukan Padri selama tiga hari tiga malam, sehingga Belanda
terpaksa harus mengundurkan diri. Tetapi operasi militer Belanda itu
diarahkan ke Luhak Agam seperti daerah Biaro dan Gunung Singgalang.
Pertempuran sengit terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri,
tetapi karena kekuatan pasukan Belanda jauh lebih besar, akhirnya
daerah-daerah itu dapat direbutnya. Kemenangan pasukan Belanda diikuti
oleh tindakan biadab dengan jalan melakukan pembunuhan massal terhadap
penduduk, besar-kecil, laki-laki maupun perempuan.
Pengalaman
pertempuran selama tahun 1823, membuat Belanda berhitung dua kali.
Sebab banyak daerah yang telah direbutnya, ternyata dapat kembali
diambil oleh pasukan Padri. Operasi militer besar-besaran dengan
tambahan pasukan dari Batavia terbukti tidak dapat menumpas pasukan
Padri. Oleh karena itu, untuk kepentingan konsolidasi, Belanda berusaha
untuk mengadakan perjanjian gencatan senjata. Usaha ini berhasil,
sehingga pada tanggal 22 Januari 1824 perjanjian gencatan senjata di
Masang ditanda-tangani oleh Belanda dan kaum Padri.
Perjanjian
Masang hanya dapat bertahan kira-kira satu bulan lebih sedikit. Sebab
Belanda dengan tiba-tiba mengadakan gerakan militer ke daerah Luhak
Tanah Datar dan Luhak Agam. Melalui pertempuran dahsyat, pusat Luhak
Tanah Datar dan Luhak Agam dapat sepenuhnya dikuasai pasukan Belanda,
dan mereka mendirikan benteng dengan nama Fort de Kock di sana. Dengan
kekalahan pasukan Padri di Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam, maka Imam
Bonjol memusatkan kekuatan kaum Padri di benteng Bonjol dan sekitarnya
sambil sekaligus melakukan konsolidasi pasukan yang telah jenuh
berperang selama lebih dari duapuluh tahun lamanya.
Sementara
itu pada tahun 1825 di Jawa telah pecah perang Jawa. Dengan timbulnya
perang Jawa ini, ke¬kuatan pasukan Belanda menjadi terpecah dua:
sebagian untuk menghadapi perang Padri yang tak kunjung selesai, dan
yang sebagian lagi harus menghadapi Perang Jawa yang baru muncul. Karena
perang Jawa dianggap oleh Belanda lebih strategis dan dapat mengancam
ek¬sistensi Belanda di Batavia, pusat pemerintahan kolonial Belanda
(Hindia Belanda), maka mau tidak mau semua kekuatau militer harus
dipusatkan untuk menghadapi perang Jawa.
Untuk
itu perlu ditempuh satu kebijaksanaan guna mengadakan perdamaian
kembali dengan kaum Padri di Sumatera Barat. Pada tahun 1825 usaha
perdamaian dan gencatan senjata dengan kaum Padri berhasil dicapai,
dengan jalan mengakui kedaulatan kaum Padri di be¬berapa daerah
Minangkabau yang memang masih secara penuh dikuasairiya. Perjanjian
damai dan gencatan senjata dipergunakan oleh Belanda untuk menarik
pasukannya dari Sumatera Barat setanyak 4300 orang, dan mensisakannya
hanya 700 orang saja lagi. Pasukan sisa sebanyak 700 orang serdadu itu,
digunakan hanya untuk menjaga benteng dan pusat-pusat pertahanan Belanda
di Sumatera Barat.
Setelah
Perang Jawa selesai dan kemenangan diperoleh oleh penguasa kolonial
Belanda, maka kekuatan militer Belanda di Jawa sebagian terbesar dibawa
ke Sumatera Barat untuk menghadapi Perang Padri. Dengan kekuatan militer
yang besar Belanda melakukan serangan ke daerah pertahanan pasukan
Padri. Pada akhir tahun 1831, Katiagan kota pelabuhan yang men¬jadi
pusat perdagangan kaum Padri direbut oleh pasukan Belanda. Kemudian
berturut-turut Marapalam jatuh pada akhir 1831, Kapau, Kamang dan Lintau
jatuh pada tahun 1832, dan Matur serta Masang dikuasai Belanda pada
tahun 1834.
Kejatuhan
daerah-daerah pelabuhan ke tangan Belanda mendorong kaum Padri, yang
memusatkan kekuatannya di benteng Bonjol, mencari jalan jalur
per¬dagangan melalui sungai Rokan, Kampar Kiri dan Kampar Kanan, di mana
sebuah anak sungai Kampar kanan dapat dilayari sampai dekat Bonjol.
Hubungan Bonjol ke timur melalui anak sungai tersebut sampai ke
Pelalawan, dan dari sana bisa terus ke Penang dan Singapura, dapat
dikuasai. Tetapi jalur pelayaran ini, pada akhir tahun 1834 dapat
direbut oleh Belanda. Dengan demikian posisi pasukan Padri yang berpusat
di benteng Bonjol mendapat kesulitan, terutama dalam memperoleh suplai
bahan makanan dan persenjataan.
Kemenangan
yang gilang-gemilang diperoleh pasukan Belanda menimbulkan kecemasan
para golong¬an penghulu, yang selama ini telah membantunya. Kekuasaan
yang diharapkan para penghulu dapat di¬pegangnya kembali, ternyata
setelah kemenangan Belanda menjadi buyar. Sikap sombong dan moral yang
bejat yang dipertontonkan oleh pasukan Belanda-¬Kristen, seperti
menjadikan masjid sebagai tempat asrama militer dan tempat minum-minuman
keras, mengusir rakyat kecil dari rumah-rumah mereka, pembantaian
massal, pemerkosaan terhadap wanita-¬wanita, memanjakan orang-orang Cina
dengan memberi kesempatan menguasai perekonomian rakyat, akhirnya
menimbulkan rasa benci dan tak puas dari golongan penghulu kepada
Belanda. Kebencian dan kemarahan para penghulu menumbuhkan rasa harga
diri untuk mengusir Belanda dari daerah Minangkabau untuk me¬lakukan
perlawanan terhadap Belanda secara sendirian tidak mampu, karenanya
perlu adanya kerjasama dengan kaum Padri.
Uluran
tangan golongan penghulu disambut baik oleh kaum Padri. Perjanjian
kerjasama dan ikrar antara golongan penghulu dengan kaum Padri untuk
mengusir Belanda, dari tanah Minangkabau dilaksanakan pada akhir tahun
1832 bertempat di lereng gunung Tandikat. Gerakan perlawanan rakyat
Sumatera Barat terhadap Belanda dipimpin langsung oleh Imam Bonjol.
0 komentar:
Posting Komentar