Tentang Harato Pusako Tinggi di Minangkabau

Perbedaan pendapat tentang harta pusako ini sebenarnya telah terjadi sejak dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawy. Beliau mengarang sebuah kitab berjudul : Ad Doi’ al Masmu’ fil Raddi ‘ala Tawarisi al ‘ikwati wa Awadi al Akawati ma’a Wujud al usuli wa al Furu’i,yang artinya : Dakwah yang didengar Tentang Penolakan Atas Pewarisan Pewarisan Saudara dan anak Saudara Disamping Ada Orang Tua dan Anak. Kitab itu di Tulis di Mekah pada akhir abat ke XIX. ( DR Amir Syarifuddin Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau 275).  Namun, beliau berbeda pendpat dengan murid beliau seperti Syekh Dr.H.Abd.Karim Amrullah.
Murid beliau Syekh Rasul ( H.Abdul Karim Amrullah ) – ulama yang belakangan  ini melihat harta pusaka dalam bentuk yang sudah terpisah dari harta pencarian. Beliau berpendapat bahwa harta pusaka itu,  sama keadaannya dengan harta wakaf atau harta musabalah yang pernah diperlakukan oleh Umar ibn Kattab atas harta yang didapatnya di Khaybar,  yang telah dibekukan tasarrufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Penyamaan harta pusaka dengan harta wakaf tersebut walaupun ada masih ada perbedaannya, adalah untuk menyatakan bahwa harta tersebut tidak dapat diwariskan. Karena tidak dapat diwariskan, maka terhindarlah harta tersebut dari kelompok harta yang harus diwarisklan menurut hukum Faraid; artinya tidak salah,  kalau padanya tidak berlaku hukum Faraid.
Pendapat beliau ini di ikuti oleh ulama lain di antaranya Syekh Sulaiman ar Rasuli. ( DR Amir Syarifuddin Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau 278)
Kemudian Buya Hamka berpendapat tentang harta pusaka sebagai berikut :
– Yang pertama, “Bahwa Islam masuk ke Minangkabau tidak mengganggu susunan adat Minangkabau dengan pusaka tinggi. Begitu hebat perperangan Paderi, hendak merubah daki-daki adat jahiliyah di Minangkabau, namun Haji Miskin, Haji A.Rachman Piobang, Tuanku Lintau, tidaklah menyinggung atau ingin merombak susunan harta pusaka tinggi itu. Bahkan pahlawan Paderi radikal, Tuanku nan Renceh -n yang sampai membunuh Mak Uncu-nya (adik perempuan ibunya) karena tidak mau mengerjakan sembahyang – bukanlah karena –  bahwa beliau menyinggung-nyinggung susunan adat Itu. Kuburan Tuanku Nan Renceh di Kamang terdapat di dalam Tanah Pusako Tinggi”. (IDAM hlm 102 )
– Yang kedua , “ Ayah saya DR. Syekh Abdulkarim Amrullah – berfatwa bahwa harta pusaka tinggi adalah sebagai waqaf juga, atau sebagai harta musaballah yang pernah dilakukan Umar bin Khatab.Pada hartanya sendiri di Khaibar, boleh diambil isinya,  tetapi tidak boleh di Tasharruf kan tanahnya. Beliau mengemukan kaidah usul yang terkenal yaitu; Al Adatu Muhak Kamatu, wal ‘Urfu Qa-Dhin Artinya Adat adalah diperkokok, dan Uruf ( tradisi) adalah berlaku”. (IDAM hlm 103)
– Yang ke tiga, Satu hal yang tidak disinggung-singgung, sebab telah begitu keadaan yang telah didapati sejak semula, yaitu harta pusaka yang turun menurut jalan keibuan. Adat dan Syarak di Minangkabau bukanlah seperti air dengan minyak, melainkan berpadu satu, sebagai air dengan minyak dalam susu. Sebab Islam bukanlah tempel-tempelan dalam adat Minangkabau, tetapi satu susunan Islam yang dibuat menurut pandangan hidup orang Minangkabau. (Hamka, Ayahku hlm. 9)
– Yang ke empat, “Pusaka Tinggi” inilah dijual tidak dimakan bali di gadai tidak dimakan sando (sandra). “Inilah Tiang Agung Minangkabau” selama ini. Jarang kejadian pusako tinggi menjadi pusako rendah, entah kalau adat tidak berdiri lagi pada suku yang menguasainya (Hamka, dalam Naim, 1968:29)
Keputusan Seminar
I.        Keputusan pada Seminar atau Musyawaratan Alim Ulama, Niniak mamak dan cadiak pandai Minangkabau pada tanggal 4 s/d 5 Mei 1952 di Bukittinggi maka Seminanr menetapkan :
1. Terhadap “Harta Pencarian” berlaku hukum Faraidh, sedangkan terhadap “Harta Pusaka” berlaku hukum adat.
2. Berhubung I.K.A.H.I. Sumbar ikut serta mengambil keputusan dalam seminar ini, maka Seminar menyerukan kepada seluruh Hakim-hakim di Sumbar dan Riau supaya memperhatikan ketetapan Seminar ini ( Naim 1968 : 241)
II.      Kemudian pada Seminar Hukum Adat Minangkabau tahun 1968 di Padang, yang di hadiri oleh para cendikiawan dan para ulama Minagkabau, ditetapkan bahwa terhadap harta pencaharian berlaku hukum faraidh, dan terhadap harta pusaka tinggi berlaku hukum adat.
Selanjutnya, tentang hukum waris diputuskan sebagai berikut :
a. Harta pusaka di Minangkabau merupakan harta badan hukum yang diurus dan diwakili oleh Mamak Kepala Waris di luar dan di dalam peradilan.
b. Anak kemenakan dan mamak kepala waris yang termasuk ke dalam badan hukum itu masing-masingnya bukanlah pemilik dari harta badan hukum tersebut. (Naim, 1968:243).
Kemudian Dr.Amir Syarifuddin berpendapat, bahwa pewarisan menurut adat bukanlah berarti peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris, tetapi peralihan peranan atas pengurusan harta pusaka itu. Dengan demikian terlihat adanya perbedaan dalam system. Perbedaan tersebut akan lebih nyata dalam keterangan di bawah ini.
Pertama:
harta pusaka melekat pada rumah tempat keluarga itu tinggal dan merupakan dana tetap bagi kehidupan keluarga yang tinggal di rumah itu. Harta itu dikuasai oleh perempuan tertua di rumah itu dan hasilnya dipergunakan untuk manfaat seisi rumah. Pengawasan penggunaan harta itu berada di tangan mamak rumah. Bila mamak rumah mati, maka peranan pengawasan beralih kepada kemenakan yang laki-laki. Bila perempuan tertua dirumah itu mati, maka peranan penguasaan dan pengurusan beralih kepada perempuan yang lebih muda. Dalam hal ini tidak ada peralihan harta.
Penerusan peranan dalam system kewarisan adat, adalah ibarat silih bergantinya kepengurusan suatu badan atau yayasan yang mengelola suatu bentuk harta. Kematian pengurus itu tidak membawa pengaruh apa – apa terhadap status harta, karena yang mati hanya sekedar pengurus.
Hal tersebut di atas berbeda sama sekali dengan bentuk pewarisan dalam hukum Islam. Dalam Hukum Islam pewarisan berarti peralihan hak milik dari yang mati kepada yang masih hidup. Yang beralih adalah harta. Dalam bentuk harta yang bergerak, harta itu berpindah dari suatu tempat ketempat yang lain. Sedangkan dalam bentuk harta yang tidak bergerak, yang beralih dalam status pemilikan atas harta tersebut.
Kedua
yang merupakan ciri khas dari harta pusaka ialah bahwa harta itu bukan milik perorangan dan bukan milik siapa -siapa secara pasti. Yang memiliki harta itu ialah nenek moyang yang mula-mulamemperoleh harta itu secara mencancang melatah. Harta itu ditujukan untuk dana bersama bagi anak cucunya dalam bentuk yang tidak terbagi-bagi.  Setiap anggota dalam kaum dapat memanfaatkannya tetapi tidak dapat memilikinya. ( DR Amir Syarifuddin Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau 269-270)
Maka dengan demikianlah, jelaslah bahwa telah ada kesepakatan para alim ulama, niniak mamak, dan cadiak pandai tentang status harta pusaka itu sebagai warih bajawek, pusako batolong dari niniak turun kemamak dari mamak turun kekemanakan. Dan kemudian diturunkan pula kebawah menurut jalur Ibu dalam kaum atau suku yang bersangkutan. Indak buliah dihilang dilanyokkan, kok dibubuik layua dianjak mati, dijua indak dimakan bali di gadai indak dimakan sando.
Kemudian seperti sering saya kemukakan, bahawa harta pusaka itu adalah sebagai bukti, “asal usul” bahwa seseorang itu dapat dikatakan keturunan Minang ( Etnis Minangkabau) apabila mempunyai harta pusaka tiunggi. Dalam adat dikatokan, “nan ba pandam ba pakuburan nan ba sasok bajarami, kok dakek dapek di kakok, kok jauah dapek di antakan”. Seseorang nan indak punyo atau indak lai mempunyai harta pusaka, berarti indak lai basasok bajarami, tidak ba pandam ba pukuburan, maka orang atau keluarga yang telah habis harta pusakanya tidaklah lagi lengkap Minangnyo. Indak lai baurek tunggang, indak bapucuak bulek, atau dengan kato lain kateh indak bapucuak kabawah indak baurek orang tersebut dapat juga dikatakan “punah” punah dalam hal harta pusaka menurut aturan adat, jika dia meninggal dia dikatakan mati ayam mati tunggau. Malah ada pendapat para ahli adat, mangatokan bahwa apabila satu kaum sudah abih harato pusakonya, mako indak paralu lai ma angkek seorang panghulu, karena adat itu berdiri di ates pusako, cancang balandasan lompek basitumpu.
Harta pusaka itu adalah sebagai alat permersatu dalam jurai, kaum, dan bagi masyarakat Minang pada umum, sekaligus untuk mengetahui, nan sa asa sakaturunan menurut jalur adat.
Harta tersebut juga sebagai harta cadangan, jika ada dunsanak kemanakan yang kehidupannya agak susah di perantauan boleh babaliak kakampung uruihlah harata itu. Oleh karenanya dapat kita bayangkan jika harta pusaka di Minangkabau
di perjual belikan, maka masyarakat Minangkabau akan sama nasibnya dengan masyarakat daerah-daerah lain, akan tersingkir dari nagari asalnya sendiri
Harta itu adalah amanah, yang boleh hanyo diambil asilnya dan tidah untuak dimiliki, maka harta itu jangan sampai ilang atau lenyap ditangan kita. Karena harta itu bukanlah milik pribadi, tetapi adalah milik bersama, maka bersama-sama pula memeliharanya.
Namun, demikian jika ada yang berpendapat dengan mengatakan bahwa harta pusaka itu haram, itu adalah haknya. Tetapi bagaimana dengan pendapat para ulama Minangkabau diatas, apa itu tidak boleh di katakan sebagai “IJMAK” para ulama Minangkabau?
Dan selanjutnya, jika pendapat tersebut sudah sangat di yakini bahwa harta pusaka tersebut adalah haram menurut Agama. Mulailah terlabih dahulu dari diri sendiri, atas harta pusako nan saparuik, nan sakaum atau sapayung sapasukuan dan nan sanagari. Adat kan salingka nagari, pusako salingka kaum, tidak ada yang akan melarang, jika nan berhak telah sepakat untuk membuat apa saja atas harta pusaka tersebut. Dan kepada yang masih meyakini atas pendapat para uluma Minangkabau tersebut diatas, tentu juga itu merupakan hak, tidak ada pulah yang boleh memaksa kan kehendak. Ini tentu bukan berarti Taklid buta, kerana kita yakin para ulama Minang tersebut tentu telah melalui penelitian atau ITIHAT pula.
Demikianlah pendapat yang saya  sampaikan. Saya mohon maaf jika  ado nan kurang pada tempatnya.
Wasalam,
sumber : muslimminangwordpress.com

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar