ALAKHFI~Malam ini kita memasuki malam ke-25 di Ramadhan tahun ini. Tentunya
Masjid di berbagai tempat mulai dipenuhi jama’ah yang berniat
melaksanakan ‘itikaf. Berikut kami sampaikan terkait ilmu ‘itikaf .
Ada beberapa adab yang hendaknya diperhatikan dan diamalkan oleh para
mu’takifin, agar itikaf yang mereka lakukan benar-benar mendapatkan
nilai yang maksimal di sisi Allah subnahahu wata’ala. Seiring dengan itu kami juga akan menyebutkan hal-hal yang dibolehkan bagi mu’takif ketika i’tikaf.
Tidak lupa kami juga menyebutkan pembatal-pembatal i’tikaf, yang jika
seorang mu’takif melakukannya, maka i’tikafnya tidak sah, tentunya
dengan harapan agar para mu’takifin bisa menghindar dan menjauh darinya.
Semoga bermanfaat.
Adab-adab I’tikaf
1. Sangat disenangi bagi seorang mu’takif (orang yang i’tikaf) untuk
menyibukkan dirinya dengan memperbanyak shalat sunnah, qiyamullail,
membaca Al-Qur’anul Karim, dan bersemangat untuk mengkhatamkannya lebih
dari satu kali.
2. Memperbanyak dzikir kepada Allah ta’ala, istighfar, do’a, dan
shalawat atas Nabi yang ini dilakukan bersamaan dengan dzikir-dzikir
syar’i yang telah dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
3. Seorang mu’takif hendaknya menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak
bermanfaat baginya, baik berupa perkataan maupun perbuatan.
4. Tidak banyak bicara (yang tidak bermanfaat), karena seorang yang benyak bicaranya, akan lebih banyak salahnya.
5. Seorang mu’takif hendaknya menjauhi segala bentuk jidal (perdebatan) dan perselisihan. [Al-Mughni karya Ibnu Qudamah]
6. Seorang mu’takif hendaknya mau mengulurkan tangannya guna membantu para mu’takifin yang lain.
7. Senantiasa bersikap tenang, menjaga akhlak yang baik, dan tidak
membuat keributan / mengganggu para mu’takifin yang lain dengan suara
yang keras yang bisa mengganggu tidur mereka atau kekhusyu’an ketika
shalat.
8. Seorang mu’takif hendaknya tidak menjadikan i’tikaf dia sebagai
tempat untuk kumpul-kumpul dan begadang bersama sebagian teman-temannya
atau bersama orang yang mengunjunginya, kemudian mengobrol dalam waktu
yang cukup lama. Ini semua tidak selayaknya dilakukan karena menyelisihi
hikmah yang dengannya i’tikaf ini disyari’atkan.
Hal-hal Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
Para ulama telah menyebutkan beberapa hal yang dibolehkan bagi para mu’takifin ketika itikaf, di antaranya:
1. Membuat kemah di dalam masjid yang dia gunakan untuk menyendiri di dalam beribadah.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari
terakhir Ramadhan, dan aku membuatkan kemah untuk beliau, beliau shalat
shubuh kemudian memasukinya.” [HR. Al-Bukhari]
2. Keluar dari masjid ketika ada kebutuhan, seperti keluar untuk
menyediakan makanan dan minuman, keluar untuk menunaikan hajatnya,
berwudhu, dan juga mandi. Dengan syarat kebutuhan-kebutuhan tadi memang
tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
3. Boleh bagi seorang mu’takif untuk bertemu dan duduk bersama istri
di dalam kemahnya, demikian pula boleh untuk menyambut siapa saja yang
datang mengunjunginya, dengan syarat tidak menimbulkan fitnah.
Dari ‘Ali bin Husain radhiyallahu ‘anhuma:
أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى
النَّبِيِّ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ
الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ
تَنْقَلِبُ أي تعود إلى بيتها وَقَامَ النَّبِيُّ ليَقْلِبهَا أي ليوصلها
إلى بيتها
“Bahwasanya Shafiyyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
telah mengkhabarkan kepadanya, bahwa dia pernah datang mengunjungi Nabi
ketika beliau sedang i’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir
Ramadhan, kemudian dia (Shafiyyah) berbincang-bincang dengan beliau
beberapa saat, dan kemudian dia berdiri untuk kembali ke rumahnya, dan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengantarkan dia sampai ke rumahnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
4. Boleh bagi seorang mu’takif untuk meminang, melakukan akad nikah,
dan menjadi saksi nikah di dalam masjid. Karena i’tikaf itu adalah
ibadah yang tidak mengharamkan (menghalangi dikerjakannya) kebaikan
(yang lainnya), maka i’tikaf tidak mengharamkan (menghalangi) seseorang
dari nikah sebagaimana puasa. Demikian pula karena nikah itu adalah
bentuk ketaatan, menghadirinya adalah juga merupakan bentuk taqarrub.
Dan hendaknya itu semua dilakukan dengan tidak terlalu berlama-lama yang
menyebabkan tersibukkannya dari i’tikaf ……
5. Boleh bagi seorang mu’takif untuk membersihkan badannya, memakai
parfum, dan memakai pakaian yang baik, boleh pula menyisir rambutnya dan
juga memotong kukunya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendongokkan kepalanya
kepadaku (ketika aku berada di rumahku yang) bersebelahan dengan masjid.
Aku menyisir rambut beliau dalam keadaan aku sedang haid.” [HR. Al-Bukhari]
6. Boleh bagi seorang mu’takif untuk mengadakan halaqah dalam rangka
mengajarkan cara membaca Al-Qur’an atau menghadiri halaqah bacaan
Al-Qur’an tersebut, demikian pula dibolehkan untuk membaca kitab-kitab
ilmiah dan menghadiri majelis-majelis para ulama dan diskusi mereka,
atau kegiatan lain yang bisa memberikan manfaat kepada orang lain.
7. Boleh bagi seorang mu’takif untuk naik ke atap (lantai paling atas) masjid karena itu masih termasuk bagian dari masjid.
Hukum dan sunah
0 komentar:
Posting Komentar